Homo Digital PMII : Dinamisasi Potensi Digital Pergerakan

Foto : PROFIL : Syaifullah Azizi. (Foto: PC PMII Surabaya/Pribadi).

Oleh : Syaifullah Azizi (Anggota Biro Pengembangan Media dan Informasi PC PMII Surabaya)

OPINI, PMII SURABAYA - Generasi PMII saat ini tidak seperti generasi PMII pada dekade-dekade sebelumnya. Jika pada saat pendirian PMII hingga era Orde Baru, PMII berfokus pada masuknya masyarakat pinggiran ke dalam arus utama perubahan sosial, pada era ini PMII yang telah menjadi inti masyarakat itu sendiri harus mampu menjadi inovator-inovator baru yang senantiasa berdampingan dengan teknologi, dalam melakukan transformasi sosial yang inklusif dan berkelanjutan. Generasi saat ini sangat lekat dan berkaitan erat dengan teknologi digital, karena mereka dilahirkan di masa ketika teknologi-teknologi digital itu baru saja lahir. Sehingga tumbuh kembangnya sudah seperti saudara kembar yang diasuh dan dibesarkan secara bersamaan dalam kurun waktu yang sama.

Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa kader-kader PMII saat ini adalah homo digitalis yang sesungguhnya. Mereka tidak hanya menggunakan teknologi digital untuk berkomunikasi, namun juga lahir dan hidup secara utuh di dunia digital. Mereka bukan hanya sekadar pengguna gawai, mereka bereksistensi melalui gawai. Eksistensinya ditentukan langsung oleh tindakan digital, seperti: uploading, chatting, posting, dan seterusnya. Menjadi pengguna sekaligus kreator di dunia digital yang hanya dibatasi oleh kemampuan inovasi mereka sendiri. Homo digital PMII berada pada digital state of nature, sebuah keadaan digital yang meniscayakan penghilangan batasan-batasan apa pun, sekalipun nilai maupun norma. Sehingga kaderisasi yang membawa nilai-nilai ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an masih sangat relevan di era ini, agar kemudian mereka tidak hanya sekadar menjadi homo digital yang bebas nilai.

PMII dilahirkan dengan karakter khas kaum Nahdiyin, membawa nilai-nilai keagamaan dan kebangsaan yang terintegrasi kuat sejak pendiriannya. Nilai-nilai seperti tersebut yang tertuang dalam kredo kaidah fikih yang berbunyi "al-muhafazhatu ‘alal qadiimish shalih wal akhdu bil jadidil ashlah", yang setidaknya berarti "merawat tradisi yang baik dan memetik kebaikan dalam modernisasi (digitalisasi)". Kemudian kredo tersebut disempurnakan oleh KH. Ma’ruf Amin dengan sebuah konsepsi yang berbunyi "al-ishlah ila ma huwal ashlah tsummal ashlah fal ashlah", yang berarti "melakukan perubahan ke arah yang lebih baik secara berkelanjutan". Nilai-nilai ini menjadi sangat relevan saat ini untuk digunakan sebagai pondasi dinamisasi potensi digital yang dimilikinya.

Dalam hal kaderisasi (internal), bibit-bibit kader harus ditumbuhkan secara inovatif. Inovatif di sini berarti kaderisasi bukan hanya terpaut pada diaspora kader-kader PMII di dalam kampus saja, melainkan juga dengan menciptakan pendekatan-pendekatan baru untuk mendinamisasikan potensi yang dimiliki kader-kader tersebut. Seperti halnya dengan memberikan ruang seluas-luasnya bagi kader untuk mengeksplorasi minat dan bakatnya di PMII, memfasilitasi kader dengan menghubungkannya dengan jejaring profesional, baik dari jejaring PMII maupun non PMII, serta mendampingi mereka baik dalam perihal akademik maupun non-akademik. Hal-hal ini dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien jika dilakukan dengan mendinamisasikan antara dunia nyata dan dunia maya.

Dinamisasi dalam bidang kaderisasi tersebut dapat dilakukan dengan mengintegrasikan Internet of Things atau IoT dalam pelaksanaannya. Seperti halnya ketika membuat ruang-ruang eksplorasi minat dan bakat kader, ruang-ruang tersebut dapat diciptakan secara beriringan antara dunia maya dan nyata. Sebagai contoh, pelatihan-pelatihan teknis seperti penggunaan tools dalam beberapa perangkat lunak di komputer, akan lebih efektif dan efisien jika dilakukan secara daring. Namun di sisi lain hal-hal seperti diskusi-diskusi, pelatihan public speaking, dan pelatihan debat, jika lebih efektif apabila dilakukan secara luring, tidak perlu dipaksakan secara daring. Hal ini dilakukan dengan harapan, kader-kader dapat mengaktualisasikan minat dan bakat mereka secara lebih efisien, sehingga tidak menghambat program-program kaderisasi lainnya.

Selanjutnya, menciptakan interkoneksi kader dengan jejaring profesional baik dalam lingkup PMII maupun non-PMII, interkoneksi tersebut dapat ditunjang dengan membuat sebuah data besar atau big data alumni dan seluruh kader. Data besar ini kemudian bukan hanya sebatas katalog saja, melainkan juga berisi tentang potensi, minat, bakat, serta hal-hal lain yang lebih personal yang dimiliki kader. Harapannya adalah dengan adanya data besar ini dapat menjadi insight pengembangan PMII ke depan. Terakhir, pendampingan kader, tentu akan sangat dapat dilakukan dengan mendinamisasikan media sosial. Bukan hanya digunakan sebatas like dan comment setiap postingan mereka saja, melainkan juga dapat digunakan sebagai sarana membangun kepercayaan, kedekatan, dan intimacy antara kader dan seniornya.

Dalam hal pergerakan (eksternal), pemanfaatan ruang-ruang maya untuk menerima, memproses, hingga mengelola isu harus dilakukan dengan maksimal. Menerima isu dengan artian, setiap isu yang diterima harus dibaca dengan kritis dan tidak bias keberpihakan. Memproses isu dengan artian, setelah isu ditampung, harus dilakukan analisis secara mendalam dengan menggunakan disiplin-disiplin ilmu yang sesuai dengan isu tersebut. Serta mengelola isu dengan artian, setelah isu tersebut dianalisis, hasil-hasilnya seperti rekomendasi kebijakan, penggalangan dukungan, hingga pengarahan opini publik harus mampu menguasai ruang-ruang maya dan nyata. Dari seluruh proses ini diharapkan dapat menghasilkan transformasi secara masif.

Pergerakan kemudian harus memiliki tujuan-tujuan konkret. Target-target yang termaktub dalam SDGs dapat digunakan sebagai acuan konkret pergerakan, karena selaras juga dengan NDP PMII. Sehingga ketika memiliki acuan yang jelas, maka pergerakan tidak akan kehilangan orientasinya. PMII tetap independen, dengan tetap menjaga jarak dengan pemerintah, tetapi memiliki tujuan-tujuan yang sama seperti yang termaktub dalam SDGs. PMII kemudian dapat menjadi mitra pemerintah dalam realisasi tujuan-tujuan konkret tersebut. Mitra bukan berarti PMII selalu mendukung setiap kebijakan pemerintah seperti partai politik koalisi, tetapi mitra yang senantiasa independen dan tidak segan untuk memberi masukan maupun kritik terhadap pemerintah, sembari menciptakan inovasi-inovasi baru dalam melakukan pergerakan.

Walhasil, penulis meyakini bahwa PMII yang dilahirkan dengan nilai-nilai ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an, tidak akan pernah kehilangan relevansinya pada era apa pun. Sehingga pergerakan mahasiswa yang akhir-akhir ini seperti kehilangan tajinya, harus dapat dimotori kembali oleh generasi PMII saat ini dengan cara mendinamisasikan serangkaian potensi yang dimilikinya dengan teknologi digital, guna ‘memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia’. Meski memang masih ada keterbatasan peralatan teknologi yang mereka miliki, namun ide dan inovasi yang tak terbatas akan mempersempit pengaruh keterbatasan itu sendiri. Karena pergerakan pada era ini hanya dapat dibatasi dengan kemampuan manusia itu sendiri. Tabik.